Risiko Diam
Aku duduk diam sambil membaca buku mata pelajaran ekonomi di pojokan kelas, sementara itu beberapa anak perempuan dan seorang anak laki-laki tampak berkerumun sambil berbisik-bisik dengan suara yang terkadang terdengar mendesis.
Mungkin aku berhak memberi stempel pada wajah-wajah perumpi di sana itu sebagai orang-orang yang tidak sopan dan tidak beretika. Mereka berbicara dengan volume suara paling minimum seolah hanya mereka dan Tuhan saja yangberhak mengetahui isi pembicaraan mereka.
Aku tak melancarkan protes dalam bentuk apapun, tidak dengan isyarat mata yang sinis, tidak dengan suara batuk yang dibuat-buat, tidak dengan monolog kata-kata pedas.
Aku hanya diam-
Aku beranggapan mereka tak bermaksud buruk dan tidak sengaja terlihat demikian.
Suara bel dari speaker di tiap kelas cukup memekakkan telinga, suara yang menegaskan waktu istirahat telah berakhir. Inii waktunya pelajaran ekonomi yang begitu kudamba dan kucintai.
Suasana kelas sangat tenang, bukan karena para murid mendengar penjelasan guru mata pelajaran dengan tenang tapi karena lebih dari separuh penduduk kelas melilih untuk meletakkan kepala mereka diatas meja meraka masing-masing untuk tidur.
Aku sangat menikmati suasana kelas yang mendukung ini, setidaknya aku bisa berinteraksi secara aktif dengan Bu Tety guru mata pelajaran ekonomi. Aku merasa mendapat predikat tersendiri ketika aku bisa menjawab secara spontan dan benar dari setiap pertanyaan yang diajukan oleh Bu Tety. Aku puas karena merasa apa yang aku baca di waktu istirahat tadi tidaklah sia-sia.
Dan tibalah saatnya Bu Tety membacakan nilai hasil ulangan tengah semester. Namun yang tak diduga ternyata Bu Tety telah menyiapkan beberapa kata pembuka sebelum membacakan urutan nama dan angka-angka tragis milik para murid didiknya.
Bu Tety mengembangkan senyum misterius di wajahnya seraya berkata,
pandangan mataku buyar,
kedua kelopak bibirku melekat dengan eratnya tak membiarkan suara apapun dari dalam mulutku berbunyi,
tangan dan kakiku diam di tempatnya,
jika aku bercermin saat ini, mungkin wajahku bewarna merah padam.
aku tak tahu perasaan apa ini, yang ku tahu dengan perolehan nilai di hampir semua mata pelajaran yang fantastis maka predikat juara kelas akan menghampiriku pada pembagiaan raport tengah semesterku senin mendatang.
Beberapa pasang tangan menjabat tanganku yang lunglai,
sementara yang lainnya memilih untuk menggosokkan tangan mereka ke kepalaku, ada pula yang mencubiti pipiku sambil mengeluarkan sepatah-dua patah kata yang kuterka sebagai pujian karena aku tak dapat mendengar semuanya dengan baik.
Aku hanya diam-
Tak berapa lama setelah jam mata pelajaran ekonomi usai, aku memrasa ada orang-orang yang memilih aku sebagai topik pembicaraan mereka. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan. Aku berusaha tak peduli dengan apa yang mereka bicarakan.
Aku hanya diam-
Setahun telah berlalu, aku telah menikmati buah ketekunanku sebagai murid yang baik. Setidaknya aku belajar bahwa apapun yang yang disukai maka akan dinikmati. Dan akan jauh lebih mudah mengerjakan sesuatu apabila kita menyukainya dan melakukannya dengan senang hati.
Aku melangkah menuju pintu kelasku di pagi yang hangat ditemani matahari pagi yang menyertai langkahku. Aku merasakan beberapa pasang mata mengarahkan pandangannya ke arahku.Aku tak tahu jawabannya.
Aku hanya diam-
Saat aku hendak mendaratkan langkah pertamaku di dalam kelas yang begitu kucintai aromanya, aroma yang memberiku pertanyaan "Apa yang akan kupelajari hari ini di kelas ini ?".
Beberapa orang menghampiriku dengan sedikit tergesa-gesa, ada pula yang yang memegangi tubuhku dengan tangan mereka.
satria, anak laki-laki di kelasku yang 'katanya' anak orang berpunya. Tapi aku tak pernah perduli.
Saat itu aku tak berkata apapun, aku tak melakukan apapun terhadap satria yang juga memandangiku yang berdiri layaknya patung di pintu kelas.
Aku hanya diam-
Diam-ku memberi kesempatan orang lain untuk meneruskan apa yang mereka lakukan sebelumnya.
Diam-ku membiarkan orang lain membuat kesimpulan sendiri sesuai dengan asumsi dan hipotesis mereka.
Diam-ku tak mampu menjelaskan banyak hal, bahkan membuat hal yang jelas menjadi tidak jelas.
Diam-ku membuatku memiliki status baru yaitu menjadi pacar satria.
Tapi bagaimanapun aku konsisten dengan sikap diamku, bumi tetap berotasi dan berevolusi.
pergantian waktu terus terjadi.
dan ...
Diam-ku menghasilkan kata putus di bibir Satria.
Sore yang ramai di tepi lapangan basket sekolahku, aku duduk tanpa tujuan yang jelas. Tapi bukan berarti aku menunggu bola bundar bewarna oranye itu menghampiri wajahku.
Di tengah kesibukan teman-temanku bersorak sorai memberi semnagat kepada anak-anak yang sedang bermain di langan basket. Aku dihampiri oleh seorang anak laki-laki yang kukenali setiap jengkal rupanya. Anak laki-laki yang kuhafal merk sepatu yang biasa ia kenakan, warna dan angka favoritnya dan segala kebiasaannya.
anak lelaki yang dalam hitungan detik akan duduk di sebelahku ini adalah anak lelaki yang tidak hanya memiliki tempat khusus di memori jangka panjang dan pendek otakku tapi juga memiliki singgasana indah di hatiku.
aku kikuk di hadapannya.
Di hadapan Andy lelaki anak lelaki yang sering mampir dipikiranku yang membuatku tersenyum bahkan terpingkal sendirian.
Tanpa kusadari, ternyata Andy telah duduk di sebelahku sedari tadi.
Bahkan Andy telah memulai pembicaraan denganku yang tidak berkonsentrasi dengan apa yang diucapkannya.
terdengar samar di tengah keramaian sore itu, namun aku bisa menangkap suaranya dan aku bisa mengingatnya dia mengatakan,
dan seperti biasanya,
Aku hanya diam-
Penyesalan yang mendalam yang kini kurasakan, kenapa aku tak memberi tahu sedikit tentang apa yang kurasakan.
Bahkan aku telah melewatkan kesempatan yang mungkin tak akan datang lagi.
Kesempatan untuk berkata jujur kepada anak laki-laki yang begitu aku sukai sepanjang hidupku
Aku menerima risiko dari diam.
dan aku menangis dalam diam karena diam-ku.
Mungkin aku berhak memberi stempel pada wajah-wajah perumpi di sana itu sebagai orang-orang yang tidak sopan dan tidak beretika. Mereka berbicara dengan volume suara paling minimum seolah hanya mereka dan Tuhan saja yangberhak mengetahui isi pembicaraan mereka.
Aku tak melancarkan protes dalam bentuk apapun, tidak dengan isyarat mata yang sinis, tidak dengan suara batuk yang dibuat-buat, tidak dengan monolog kata-kata pedas.
Aku hanya diam-
Aku beranggapan mereka tak bermaksud buruk dan tidak sengaja terlihat demikian.
Suara bel dari speaker di tiap kelas cukup memekakkan telinga, suara yang menegaskan waktu istirahat telah berakhir. Inii waktunya pelajaran ekonomi yang begitu kudamba dan kucintai.
Suasana kelas sangat tenang, bukan karena para murid mendengar penjelasan guru mata pelajaran dengan tenang tapi karena lebih dari separuh penduduk kelas melilih untuk meletakkan kepala mereka diatas meja meraka masing-masing untuk tidur.
Aku sangat menikmati suasana kelas yang mendukung ini, setidaknya aku bisa berinteraksi secara aktif dengan Bu Tety guru mata pelajaran ekonomi. Aku merasa mendapat predikat tersendiri ketika aku bisa menjawab secara spontan dan benar dari setiap pertanyaan yang diajukan oleh Bu Tety. Aku puas karena merasa apa yang aku baca di waktu istirahat tadi tidaklah sia-sia.
Dan tibalah saatnya Bu Tety membacakan nilai hasil ulangan tengah semester. Namun yang tak diduga ternyata Bu Tety telah menyiapkan beberapa kata pembuka sebelum membacakan urutan nama dan angka-angka tragis milik para murid didiknya.
"Dari semua kelas di sekolah ini, ada salah satu murid di kelas ini yang mendapatkan nilai tertinggi.Ibu memberi apresiasi kepada murid yang menjawab dengan jawaban yang sempurna sebagai bukti bahwa murid ini mendengarkan penjelasan ibu dengan baik dan belajar dengan tekun"Beberapa pandangan langsung menuju ke arah aprila, gadis cantik berambut panjang berkulit putih dan pandai dalam berbicara.
Bu Tety mengembangkan senyum misterius di wajahnya seraya berkata,
"Nilai tertinggi itu diraih oleh Inda !"Pandangan bertubi-tubi langsung menyeruak ke arahku.
"ada apa ini" ,pikrku dalam hati.Tiba-tiba aku tak bisa mendengar dengan jelas,
pandangan mataku buyar,
kedua kelopak bibirku melekat dengan eratnya tak membiarkan suara apapun dari dalam mulutku berbunyi,
tangan dan kakiku diam di tempatnya,
jika aku bercermin saat ini, mungkin wajahku bewarna merah padam.
aku tak tahu perasaan apa ini, yang ku tahu dengan perolehan nilai di hampir semua mata pelajaran yang fantastis maka predikat juara kelas akan menghampiriku pada pembagiaan raport tengah semesterku senin mendatang.
Beberapa pasang tangan menjabat tanganku yang lunglai,
sementara yang lainnya memilih untuk menggosokkan tangan mereka ke kepalaku, ada pula yang mencubiti pipiku sambil mengeluarkan sepatah-dua patah kata yang kuterka sebagai pujian karena aku tak dapat mendengar semuanya dengan baik.
Aku hanya diam-
Tak berapa lama setelah jam mata pelajaran ekonomi usai, aku memrasa ada orang-orang yang memilih aku sebagai topik pembicaraan mereka. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan. Aku berusaha tak peduli dengan apa yang mereka bicarakan.
Aku hanya diam-
Setahun telah berlalu, aku telah menikmati buah ketekunanku sebagai murid yang baik. Setidaknya aku belajar bahwa apapun yang yang disukai maka akan dinikmati. Dan akan jauh lebih mudah mengerjakan sesuatu apabila kita menyukainya dan melakukannya dengan senang hati.
Aku melangkah menuju pintu kelasku di pagi yang hangat ditemani matahari pagi yang menyertai langkahku. Aku merasakan beberapa pasang mata mengarahkan pandangannya ke arahku.Aku tak tahu jawabannya.
Aku hanya diam-
Saat aku hendak mendaratkan langkah pertamaku di dalam kelas yang begitu kucintai aromanya, aroma yang memberiku pertanyaan "Apa yang akan kupelajari hari ini di kelas ini ?".
Beberapa orang menghampiriku dengan sedikit tergesa-gesa, ada pula yang yang memegangi tubuhku dengan tangan mereka.
Kok gak bilang sih kalo udah jadian dengan dengan Satria ?hanya mendengarnya saja sudah seperti petir dengan suara menggelegar yang merusak suasana pagi.
satria, anak laki-laki di kelasku yang 'katanya' anak orang berpunya. Tapi aku tak pernah perduli.
Saat itu aku tak berkata apapun, aku tak melakukan apapun terhadap satria yang juga memandangiku yang berdiri layaknya patung di pintu kelas.
Aku hanya diam-
Diam-ku memberi kesempatan orang lain untuk meneruskan apa yang mereka lakukan sebelumnya.
Diam-ku membiarkan orang lain membuat kesimpulan sendiri sesuai dengan asumsi dan hipotesis mereka.
Diam-ku tak mampu menjelaskan banyak hal, bahkan membuat hal yang jelas menjadi tidak jelas.
Diam-ku membuatku memiliki status baru yaitu menjadi pacar satria.
Tapi bagaimanapun aku konsisten dengan sikap diamku, bumi tetap berotasi dan berevolusi.
pergantian waktu terus terjadi.
dan ...
Diam-ku menghasilkan kata putus di bibir Satria.
Sore yang ramai di tepi lapangan basket sekolahku, aku duduk tanpa tujuan yang jelas. Tapi bukan berarti aku menunggu bola bundar bewarna oranye itu menghampiri wajahku.
Di tengah kesibukan teman-temanku bersorak sorai memberi semnagat kepada anak-anak yang sedang bermain di langan basket. Aku dihampiri oleh seorang anak laki-laki yang kukenali setiap jengkal rupanya. Anak laki-laki yang kuhafal merk sepatu yang biasa ia kenakan, warna dan angka favoritnya dan segala kebiasaannya.
anak lelaki yang dalam hitungan detik akan duduk di sebelahku ini adalah anak lelaki yang tidak hanya memiliki tempat khusus di memori jangka panjang dan pendek otakku tapi juga memiliki singgasana indah di hatiku.
aku kikuk di hadapannya.
Di hadapan Andy lelaki anak lelaki yang sering mampir dipikiranku yang membuatku tersenyum bahkan terpingkal sendirian.
Tanpa kusadari, ternyata Andy telah duduk di sebelahku sedari tadi.
Bahkan Andy telah memulai pembicaraan denganku yang tidak berkonsentrasi dengan apa yang diucapkannya.
terdengar samar di tengah keramaian sore itu, namun aku bisa menangkap suaranya dan aku bisa mengingatnya dia mengatakan,
"Aku suka sama kamu ... "
dan seperti biasanya,
Aku hanya diam-
Penyesalan yang mendalam yang kini kurasakan, kenapa aku tak memberi tahu sedikit tentang apa yang kurasakan.
Bahkan aku telah melewatkan kesempatan yang mungkin tak akan datang lagi.
Kesempatan untuk berkata jujur kepada anak laki-laki yang begitu aku sukai sepanjang hidupku
Aku menerima risiko dari diam.
dan aku menangis dalam diam karena diam-ku.
Komentar
Posting Komentar